salah kaprah si idul fitri

ada sekian catatan yang perlu saya sampaikan, sekedar untuk mengisi sisa libur lebaran sekaligus berbagi pikiran dan pandangan. Ada beberapa hal yang menurut pendapat sederhana saya, adalah sebuah kesalahan atau lebih halusnya adalah salah kaprah, khususnya yang terjadi di seputaran lebaran. Sungguh tidak ada maksud kami untuk merasa paling benar dan lebih benar, hanya sekedar ingin menyampaikan apa yang kami pahami secara terbatas. Sekali lagi, sesuai motto blog Indonesia Optimis : berbagi tak akan pernah rugi, terus menginspirasi sampai mati !. Adapun beberapa salah kaprah yang kami perhatikan sebagai berikut :

Salah Kaprah 1 : Pembagian Zakat Fitrah tidak hanya kepada Fakir Miskin
Kata zakat dalam istilah zakat fitrah sering disamakan sepenuhnya dengan syariat zakat dalam rukun Islam, sehingga terkadang objek pembagiannya pun mengacu pada ketentuan golongan yang delapan ( ashnaf tsamaniyah), termasuk amil atau pengelola di dalamnya. Maka kita lihat di beberapa tempat, zakat fitrah yang semestinya untuk berbagi kebahagiaan di hari raya, menjadi tanpa makna karena justru sebagain besar dibagikan ke takmir masjid sebagai THR, pengelola atau panitia zakat fitrah, bahkan untuk pembangunan dan penambahan fasilitas masjid. Mari kita mengingat hakikat sesungguhnya zakat fitrah : Dari Ibnu 'Abbas radliyallah 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tak berguna dan kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat 'Ied, maka ia zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia menjadi sedekah biasa." (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Hikmahnya bisa kita tangkap begitu mudah dengan melihat batas waktu pembagian zakat fitrah, yaitu sebelum sholat ied, hal ini dimaksudkan agar pada hari raya benar-benar kaum miskin bisa ikut berbahagia bersama yang lainnya, tanpa perlu menahan lapar dahaga.

Salah Kaprah 2 : Sholat Idul Fitri terlalu pagi
Banyak panitia sholat idul Fitri di beberapa kota yang menyelenggarakan terlalu pagi jam 06.00, akibatnya banyak yang terlambat mengikutinya. Padahal sesungguhnya, untuk pelaksanaan idul fitri bisa agak diakhirkan sesuai petunjuk dan anjuran syariat dengan hikmahnya yang agung. Menurut mayoritas ulama-ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat). (Lihat Fiqh Sunnah 1). 


Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad  mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”

Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menambahkan : tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.
Karenanya, menurut saya untuk idul fitri lebih baik diakhirkan agar banyak kaum muslimin yang benar-benar bisa optimal mengikutinya. Selain itu juga, agar pelaksanaan zakat fitrah bisa lebih mendekati sunnah, dan waktu untuk bertakbir pun lebih lama dan longgar. Tambahan pula, bukankah dalam idul fitri kita disyariatkan untuk makan / berbuka sebelum sholat ? Tentu inipun membutuhkan waktu bukan ?

Salah Kaprah 3 : Makna Idul Fitri yang diartikan Kembali Suci atau pada Fitrah
Kata ‘ied sendiri berarti adalah kembali atau berulang, tetapi dalam bahasa arab sudah menjadi istilah khusus untuk menyebut hari raya, karena memang menjadi peringatan yang selalu berulang setiap tahun. Yang menjadi masalah kemudian kata fitri, yang sering diartikan kembali suci atau kembali kepada fitrah. Digambarkan pula bagaimana seorang yang keluar dari ramadhan bagaikan hari dilahirkan ibunya, alias tanpa dosa sedikitpun. Subhanallah, tentu kita semua menginginkan hal tersebut bukan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, karena berangkat dari harapan yang dijanjikan dari sebuah hadits : “ Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan penuh pengharapan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu “ (HR Bukhori Muslim).

Namun secara objektif bahasa dan istilah arab dan arti syar’I sebagaimana terdapat dalam hadits, fitri disini maksudnya adalah berbuka atau kondisi tidak berpuasa. Jadi yang dimaksud idul fitri adalah kembali berbuka atau hari raya menyambut berbuka. Karenanya dalam hari idul fitripun kita dilarang untuk berpuasa. Makna fitri dalam arti berbuka bisa kita ambil dengan mudah dalam hadits berikut :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu kegembiraa ketika dia berbuka dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Rabbnya. (HR Bukhori)

Salah Kaprah 4 : Mengartikan Minal Aidzin wal Faidzin sebagai Mohon Maaf Lahir Bathin
Kata ‘aidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali. Faizin berasal dari kata fauz yang berarti kemenangan. Maka, faizin adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata min dalam minal menunjukkan bagian dari sesuatu.

Untuk makna lebih sempurna seharusnya ditambahkan di depan kalimat tersebut, yaitu ja’alanallaahu (semoga Allah menjadikan kita). Jadi selengkapnya kalimat minal ‘aidin wal faizin bermakna (semoga Allah menjadikan kita) bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah). Jadi kalimat di atas adalah doa bukan permohonan maaf  lahir dan batin.

Salah Kaprah ke-5 : Mengucapkan Taqobbalallahu minna wa minkum hanya pada Idul Fitri saja
Sebenarnya ucapan selamat dan doa taqobbalallahu minna wa minkum bukanlah sunnah secara khusus, tapi kebiasaan para sahabat ketika saling bertemu di hari raya. Artinya memang tidak ada anjuran secara khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika  (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253)

Tapi yang terjadi di masyarakat kita, cenderung menyambut berlebihan hari raya idul fitri dan menganaktirikan hari raya idul adha. Idul Adha menjadi sepi-sepi saja tanpa kesan, kecuali acara makan-makan hasil sembelihan. Padahal semestinya, kita pun bisa ikut menambah syiar Idul Adha dengan ucapan dan doa yang sama yaitu, taqobbalallahu minna wa minkum. Kita niatkan untuk menghidupkan syiar Idul Adha.
Allah SWT berfirman : “ Barang siapa yang mengagunkan syiar agama Allah, maka itu adalah bukti ketakwaan dalam hatinya “ (QS Al Hajj 32)
Wallahu a’lam bisshowab. Semoga bermanfaat dan salam optimis.

0 komentar: